Rabu, 04 Agustus 2010

Komnas HAM + Ahmadiyah : Kebebasan (& Bebas) Mengacak-acak Agama?

Tanggal 15 Januari lalu, dalam rapat Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) menyampaikan 12 poin penjelasan. Bakorpakem menyatakan ajaran itu akan dievaluasi tiga bulan. Apa dan bagaimana sebenarnya Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad, berikut bagian kedua dari tiga tulisan.

''Katakanlah (wahai Mirza Ghulam Ahmad) jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu. Mudah-mudahan Tuhanmu melimpahkan rahmatnya kepadamu dan sekiranya kamu kembali kepada kedurhakaan niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka jahannam bagi orang-orang kafir. Dan Kami tidak mengutusmu (wahai Mirza Ghulam Ahmad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Katakanlah beramallah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku juga beramal. Kelak kamu akan mengetahui.''

Umat Islam tentu tak asing dengan redaksi ayat di atas. Redaksi ayat tersebut memang ada di QS Ali Imran ayat 31, QS Alanbiyaa ayat 107, dan QS Alan'am ayat 135. Oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA), ketiga ayat tersebut digabungkan, dipotong sedikit, dimodifikasi--seperti memasukkan namanya dalam tanda kurung--kemudian diklaim sebagai wahyu. Ayat gabungan itu ditulisnya di kitab Haqieqatul Wahyi hlm 82.

'Wahyu-wahyu' itu lalu dikumpulkan dalam Tadzkirah. Tadzkirah yang lebih tebal dibanding Alquran itu dipenuhi ayat-ayat Alquran yang dijiplak, diklaim, dan diputarbalikkan. Juga berisi kata-kata MGA seperti: ''Engkau bagi-Ku seperti anak-anak-Ku. Engkau dari Aku, Aku dari engkau'' (hlm 436); ''Ketahuilah bahwa istrinya Ahmad dan kerabatnya, mereka adalah keluarga-Ku'' (hlm 138); ''Wahai Ahmadku. Engkau adalah tujuan-Ku. Kedudukanmu di sisi-Ku sederajat dengan Kemahaesaan-Ku.'' (hlm 579). Lihat pula klaimnya: ''Alquran itu kitab Allah dan kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku'' (Istisfa, hlm 81); ''Engkau wahai Mirza bagiku adalah anakku'' (Istisfa' hlm 82); ''Apabila engkau wahai Mirza menghendaki sesuatu apa saja, cukup engkau katakan: jadilah maka jadilah ia'' (Istisfa' hlm 88); ''Isa telah membiasakan perbuatan keji dan lancang lidah .... Semua berita-berita yang diakuinya bahwa berita-berita tersebut menceritakannya dalam kitab Taurat adalah tidak pada umumnya.'' (Ruhani Khazain, hlm 289).

Dalam 12 poin penjelasannya pada rapat Bakorpakem tiga bulan lalu, Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI), Abdul Basit, membantah Tadzkirah sebagai kitab suci. ''Melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah.'' Bahkan, pada lembar pertama Tadzkirah sudah tertulis ''Tadzkirah yakni wahyu yang suci.''

Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) telah meneliti dan menerbitkan sejumlah buku yang menyandingkan ayat-ayat Tadzkirah dengan Alquran. Salah satunya Ahmadiyah dan Pembajakan Alquran. Tapi, seberapa banyak ayat Alquran yang dibajak, LPPI tetap sulit menghitungnya. ''Pokoknya banyak,'' kata Ketua LPPI, Amin Djamaluddin, kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Berdasar pemeriksaan teliti atas fakta-fakta tersebut, Amin mempertanyakan dalih kebebasan untuk melegitimasi eksistensi Ahmadiyah, apalagi menggunakan pasal-pasal konstitusi. ''Kebebasan beragama tidak sama dengan kebebasan mengacak-acak agama. Seharusnya para ahli hukum bisa membedakan itu,'' katanya. Dia menilai umat Islam yang mayoritas lebih patut dilindungi akidahnya oleh hukum, konstitusi, dan pemerintah.

Ahmadiyah kali pertama masuk Hindia Belanda pada 1925. Mulanya baik-baik saja. Tapi, setelah nyata bahwa mereka bukan seperti ormas Islam pada umumnya, tapi membawa ajaran baru, mulai timbul penolakan. Muhammadiyah, misalnya, sejak 1930-an telah menyatakan: ''Yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi adalah kafir.''

Dalam artikel '75 Tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia' di situs web JAI, ahmadiyyah.org dituliskan; ''... para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis, terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933.''

PB Ahmadiyah didirikan pada 1932 dengan R Muhyidin sebagai ketua pertamanya. Pada 1953, Ahmadiyah mendapatkan status badan hukum resmi dari Departemen Kehakiman nomor J.A.5/23/137, 3 Maret 1953. Namun, persoalan tak lantas selesai.

Sejak 1953 sampai dengan 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan dua fatwa, PBNU menyatakan Ahmadiyah menyimpang, sejumlah kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi telah melarang Ahmadiyah, dan dibahas dalam rapat-rapat lintas menteri.

Saat kontroversi berlangsung, JAI memindahkan markasnya ke Parung, Bogor. Di atas tanah tiga hektare, dibangun Kampus Mubarak. Mulanya warga mengira Ahmadiyah sama dengan ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah. ''Ternyata berbeda. Mereka kalau shalat Jumat sendiri,'' kata Ismat, ketua RT 03 Kp Babakan, Desa Pondok Udik, Kec Kemang, Kab Bogor.

Juli 2005, warga menyerang Kampus Mubarak pada Juli 2005. Sejak itu, Kampus Mubarak ditutup. Saat Republika mengunjungi Kampus Mubarak, Februari lalu, seorang petugas keamanan bernama Nasir Ahmad menunjukkan pengumuman bahwa hanya yang mendapat rekomendasi pimpinan JAI yang diperbolehkan masuk. Namun, warga sekitar menyatakan tempat itu masih kerap didatangi, antara lain, untuk shalat Jumat.

Menyusul peristiwa penyerangan, Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) membahas soal Ahmadiyah pada 2005. Rekomendasinya meminta Ahmadiyah--baik Qadian maupun Lahore--dilarang dan dibubarkan. ''Secara politik dan hukum, masalah Ahmadiyah seharusnya sudah selesai. Tapi, hasil rapat Tim Pakem tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah,'' sesal kuasa hukum Forum Umat Islam, Munarman.

Dari Tim Pakem, kata Munarman, rekomendasi itu mestinya disampaikan kepada Presiden untuk dibuatkan keppres pembubaran Ahmadiyah. Tapi, Adnan Buyung Nasution selaku tim pembela Ahmadiyah melobi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Dari situ, rekomendasi kemudian berbelok ke Departemen Agama. Tapi, Adnan Buyung membantah.

''Saya hanya memimpin persidangan. Peserta sendirilah yang membuat rekomendasi. Dan, saya menerima sebagai wakil dari Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) sebagai masukan untuk nanti masih disidangkan lagi oleh Wantimpres. Bagaimana nanti Wantimpres mengambil keputusan akhir untuk dijadikan nasihat kepada Presiden. Ada prosesnya. Tidak serta-merta,'' kata Buyung.

Mengendap dua tahun, masalah Ahmadiyah mencuat lagi pada 2007, menyusul insiden Manis Lor. Masalah itu pun dibahas serius dalam tujuh putaran dialog. Kepala Balitbang Depag, Atho Mudzhar, mengatakan ditawarkan tujuh opsi. Antara lain: pembubaran JAI oleh pemerintah, pembubaran JAI oleh pengadilan, warga Ahmadiyah dikategorikan non-Muslim, dan diterima sebagai salah satu aliran dalam komunitas Muslim Indonesia. JAI memilih yang terakhir.

Karena itu pilihannya, Atho mengatakan pemerintah menyarankan JAI menjelaskan posisi keyakinan dan kemasyarakatannya. Lahirlah 12 poin penjelasan. ''Tapi, itu bukan kesepakatan antara Depag dan JAI, melainkan pernyataan JAI sendiri untuk direspons dengan segala konsekuensinya ,'' kilah Atho. Lalu, akankah masalah Ahmadiyah akan dibiarkan berlarut-larut atau diselesaikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar