Tanggal 15 Januari lalu, dalam rapat Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) menyampaikan 12 poin penjelasan. Bakorpakem menyatakan ajaran itu akan dievaluasi tiga bulan. Apa dan bagaimana sebenarnya Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad, berikut bagian pertama dari tiga tulisan.
Hal utama yang dipersoalkan dari ajaran Ahmadiyah yang dibawa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) itu adalah kenabiannya. Sebab, doktrin Islam dalam Alquran dan Hadis menegaskan Muhammad SAW adalah penutup para nabi. ''Dalil-dalilnya qath'i,'' kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Djamaluddin.
Karena orang-orang Ahmadiyah mengaku Muslim, doktrin itu pun mengikat mereka. Lain halnya, kata Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, bila mereka menyatakan diri non-Muslim. Di Pakistan, tempat asal ajaran Mirzaiyah itu, penganutnya sudah dinyatakan sebagai non-Muslim.
PB JAI--yang sampai saat ini menolak penganut Ahmadiyah dinyatakan sebagai non-Muslim--menyatakan dalam poin kedua penjelasan PB JAI, ''Sejak semula, kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyyin (nabi penutup).'' Di poin ketiga, dinyatakan, ''Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri, dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.''
Lihat pula poin kelima, ''Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini, (a) Tidak ada wahyu syariat setelah Alquranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; (b) Alquran dan Sunah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.''
Tokoh-tokoh Islam dari berbagai ormas melihat ada permainan kata-kata. Antara lain, karena tak ada pernyataan MGA bukan nabi. Namun demikian, mereka tetap bersabar tiga bulan. Amir PB JAI, Abdul Basith, tetap menyatakan mereka selama ini disalahpahami. Benarkah?
Jumat (11/4) pekan lalu, Republika mengunjungi Masjid Al Mubarak, Jl Moch Kahfi II No 44, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Khatib shalat Jumat di masjid itu adalah Basuki Ahmad Mubaligh. Pria asal Jawa Tengah ini adalah pengurus masjid Ahmadiyah di Depok.
Mula-mula, dia mengulas film Fitna yang menggegerkan. Tak lama kemudian, dia mengulas soal adanya nabi setelah Muhammad, ''Berdasarkan Alquran surat Asshaff ayat 6, ada nabi bernama Ahmad,'' katanya.
Basuki menutup khotbah 20 menitnya dengan pernyataan, ''Ahmadiyah tidak menghina Muhammad SAW. Ajaran ini justru memuliakannya.'' Sebelum shalat Jumat dimulai, mereka melantunkan bacaan yang banyak menyebut ''Ahmad''.
Doktrin
Soal MGA nabi atau bukan bagi penganut Ahmadiyah, memang tak mungkin diputuskan di meja perundingan Bakorpakem. Sebab, doktrin kenabian MGA bertebaran di 88 buku yang ditulis MGA. Semua orang--termasuk Muslim--yang tidak mengakui MGA sebagai nabi dinyatakan kafir secara tegas.
Di beberapa kitabnya, MGA memang mencela orang yang mengaku nabi setelah Muhammad. Seperti tertulis di kitab Isytirahat hlm 297, ''Lihatlah dengan jelas, sesungguhnya kami melaknat setiap orang yang mengaku jadi nabi.''
Di kitab Ruhani Khazain hlm 435, MGA juga menulis, ''Janganlah kamu menjadi musuh-musuh Alquran dan kamu mengatakan bahwa silsilah wahyu kenabian itu masih berjalan, tidak terputus setelah khatamun nabiyyin.'' Tapi, MGA sendiri justru mengaku menjadi nabi. Berikut tertulis di Ruhani Khazain halaman 154, ''Sungguh Allah telah menjadikanku seorang nabi, dan telah menyapaku dengan titel ini dengan sangat jelas.'' Di halaman 230 tertulis, ''Maha benar Allah yang telah mengutus rasul-Nya (Mirza Ghulam Ahmad) di Qadian.''
Di Tadzkirah hlm 342, MGA mengatakan, ''Bahwa Allah telah memberi kabar padanya, 'Sesungguhnya orang yang tidak mengikutimu dan tidak berbaiat padamu dan tetap menentangmu, dia itu adalah orang yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan termasuk penghuni neraka jahim'.''
Dalam buku Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad menyatakan, dalam pidatonya di Lahore, MGA dikutip media untuk mencabut pengakuannya sebagai nabi. Tapi, Basiruddin yang merupakan salah seorang anak MGA dan 'khalifatul masih II' membantahnya.
''Berita yang berisikan kesalahpahaman itu dicetak pula oleh sebuah surat kabar bernama Akbhar-e-Aam Lahore. Hazrat Ahmad as pun segera membantah berita yang salah itu dan menyiarkan sebuah karangan yang berjudul Ek Ghalathy Ka Izalah,'' kata Basiruddin dalam buku berjudul asli Sirat Masih Mau'ud yang bisa di-download dari situs PB JAI, ahmadiyya.org.
Dalam Ek Ghalathy Ka Izalah, MGA menulis, ''Saya memang mendakwakan diri sebagai nabi dan sama sekali tidak pernah menarik kembali pendakwaan itu. Hanya saya tidak membawa syariat baru dan tetap hanya satu syariat yang dibawa junjungan yang mulia Nabi Muhammad SAW ....''
Benarkah nabi tanpa syariat? Di Ruhani Khazain halaman 435, MGA menulis, ''Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku, wahyu syariat juga.'' Secara faktual, syariatnya antara lain menghapuskan jihad, haji akbar di Qadian, melarang shalat di belakang non-Ahmadi, dan lain-lain. Lantas, wahyu dan keterangan manakah yang menjadi pegangan orang-orang Ahmadiyah? MGA yang melaknat orang yang mengaku nabi atau MGA yang mengaku nabi? MGA yang mengaku tak membawa syariat atau MGA yang membawa syariat? Amin Djamaluddin mengatakan kenabian MGA itu merupakan pokok keyakinan atau 'rukun iman'-nya orang Ahmadiyah.
Inilah yang dikatakan tokoh Ahmadiyah di Indonesia, Syafi R Batuah, dalam buku Ahmadiyah: Apa dan Mengapa? (PB JAI, 1968), ''Bahwa semua orang Islam harus percaya pada nabi Mirza Ghulam Ahmad. Kalau tidak, berarti mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran Alquran. Dan, siapa-siapa yang tidak mengikuti Alquran maka ia bukan Muslim. Dan, barang siapa yang mengingkari seorang nabi, menurut istilah agama Islam disebut kafir.''
Karena dasar-dasar doktrin itulah, Budi (samaran) mantan anggota Ahmadiyah Manis Lor, Kuningan Jawa Barat, ragu 12 poin penjelasan PB JAI akan sukses. "Bohong mereka mah. Ulah dipercaya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar