Ahmad Hariadi (Mantan Mubaligh Ahmadiyah) : Tugas saya menyadarkan jemaat Ahmadiyah.
Tak banyak orang mengenal sosok yang satu ini. Mubaligh senior yang sempat 10 tahun bergabung dengan Ahmadiyah ini, kemudian menyadari dan insaf bahwa Ahmadiyah keliru dan sesat. Ia pun lantas meninggalkan Ahmadiyah. Meskipun awalnya pertemuan dengan tokoh sekaliber Buya Hamka dan M Natsir tak membuatnya goyah untuk tetap memeluk Ahmadiyah.
Tekadnya sekarang adalah menghabiskan sisa hidupnya untuk melakukan penyadaran bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar kembali pada Islam yang kaffah. Ia tegaskan lagi janjinya saat tabligh akbar di Masjid Al Barkah, Matraman, Jakarta. Pemimpin Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin di Garut, Ahmad Hariadi, memaparkan kisahnya kepada wartawan Republika, Rachmat Santosa Basarah. Berikut petikannya.
Bagaimana awalnya, Anda bisa tertarik masuk Ahmadiyah?
Tahun 1971, saat itu usia saya 19 tahun, saya mendatangi cabang Ahmadiyah Surabaya, membaca buku-buku Ahmadiyah, termasuk yang dikarang oleh Mirza Ghulam Ahmad. Setelah saya pelajari, akhirnya saya tertarik dan saya simpulkan, inilah yang saya cari. Setelah itu, saya hadapkan pada guru-guru saya yang sebelumnya saya pun belajar pada mereka. Ada yang dari Muhammadiyah, NU, Persis, dan lainnya. Saya kan sebelum kenal Ahmadiyah belajar lama pada para alim ulama itu. Saya juga mubaligh, dan jauh sebelum itu sudah mengisi ceramah di salah satu radio di Jombang.
Ketertarikan saya saat itu karena melihat organisasi Ahmadiyah adalah organisasi dunia. Mereka menerjemahkan Alquran ke dalam berbagai bahasa dan organisasinya rapi. Pendirinya adalah Imam Mahdi, Isa yang dijanjikan. Jadi, menurut saya, saat itu ada daya tarik khusus yang tidak ada pada kelompok-kelompok Islam lainnya.
Kemudian dari ajarannya, Ahmadiyah membuat definisi bahwa Rasul itu dibagi dua. Yaitu, yang membawa syariat dan yang tidak membawa syariat dan pakai dalil Alquran--yang memang kalau dilihat sepintas memang benar. Menurut Ahmadiyah, rasul yang tidak membawa syariat itu bisa saja datang, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Kalau seandainya para guru saya atau para ulama mengatakan definisi dalam Ahmadiyah bahwa rasul dibagi dua, itu tidak benar. Tentu, saya tidak akan masuk Ahmadiyah saat itu. Memang ada ayat di dalam Alquran. Namun, bukan berarti nabi-nabi Bani Israil tidak membawa syariat. Memang, dalam hal-hal prinsip berinduk pada Taurat. Tapi, dalam hal-hal lain yang sifatnya sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu nabi-nabi itu berada, mereka juga membawa syariat. Itu kunci jawabannya. Kalau saya dapatkan itu sebelum saya masuk Ahmadiyah, saya tidak akan masuk Ahmadiyah.
Bagaimana tanggapan para alim ulama (guru Anda) setelah mengetahui Anda tertarik Ahmadiyah?
Saya menemui mereka dan saya hadapkan hujjah-hujjah Ahmadiyah pada mereka. Terutama, yang menyangkut tiga masalah pokok. Pertama, Nabi Isa AS masih hidup atau sudah mati. Kedua, akankah datang rasul atau nabi lagi yang tidak membawa syariat. Ketiga, benar atau tidakkah bahwa Mirza Ghulam Ahmad ini sebagai Imam Mahdi, sebagai Nabi Isa yang dijanjikan.
Mungkin, karena mendadak dan mereka belum mempelajari secara mendalam, mereka akhirnya cukup kelabakan juga. Akhirnya, saya simpulkan bahwa hujjah-hujjah Ahmadiyah ini tidak bisa dipatahkan. Akhirnya, mereka bahkan menyimpulkan bahwa kalau memang Ahmadiyah benar, mengapa Buya Hamka dan Muhammad Natsir tidak masuk Ahmadiyah.
Setelah menghadap para ulama yang sebelumnya adalah guru-guru Anda itu, apa yang Anda lakukan?
Dua tahun kemudian, tahun 1973, saya sempatkan untuk pergi ke Jakarta mendatangi Buya Hamka di Masjid Al Azhar. Saya ditanya Buya, ada apa datang ke sini? Saya katakan, saya dari Pare, Kediri. Saya katakan, ada problem dengan Ahmadiyah. Langsung spontan, Buya Hamka memegang pundak saya dan meminta saya untuk tiga hari tinggal di rumah beliau, di samping Masjid Al Azhar itu. Selama tiga hari dengan beliau, kami dialog tentang tiga masalah pokok hujjah Ahmadiyah.
Namun, saya merasa jawaban-jawaban beliau belum memuaskan. Akhirnya, saya mendatangi Ustadz Muhammad Natsir dengan rekomendasi dari Buya Hamka. Pak Natsir kemudian memberikan hasil debat antara Al Hasan dari Persis dengan dua mubaligh Ahmadiyah, yaitu Rahmad Ali dan Abubakar Ayub. Dalam hasil debat yang sudah berbentuk buku itu, dibahas juga tiga masalah tadi. Saya masih belum puas juga.
Dua ulama besar tidak bisa membuat Anda goyah. Kemudian, apa yang Anda lakukan?
Setelah itu, saya ke Bandung karena ada saudara saya di sana. Kemudian, saya datang ke cabang Ahmadiyah di Bandung. Dan, saya utarakan mau dibaiat masuk Ahmadiyah (Ahmad Hariadi menuturkan dengan mata memerah dan berkaca-kaca--Red). Itu bulan Desember 1973. Saya mengisi formulir baiat masuk Ahmadiyah. Jadi, sebelum mengisi formulir itu ada 10 persyaratan baiat. Dan, itu sampai sekarang masih diterapkan di Ahmadiyah.
Setelah dibaiat, ada tiga hal dipesankan kepada saya. Pertama, saya tidak boleh makmum di belakang orang yang bukan Ahmadiyah. Kedua, tidak boleh kawin dengan orang yang bukan Ahmadiyah. Dan ketiga, saya harus membayar seperenambelas dari penghasilan per bulan. Itu namanya Candah Am, atau iuran umum bagi anggota Ahmadiyah.
Sepekan setelah saya dibaiat, ada pertemuan tahunan pemuda Ahmadiyah se-Indonesia di Jakarta. Saat itu, saya menang juara satu lomba pidato. Akhirnya, saya ditawari oleh para mubaligh Ahmadiyah untuk menjadi mubaligh, dan tawaran itu saya terima. Bahkan, saat itu ada rencana saya dikirim ke Robuah, Pakistan, pusatnya Ahmadiyah dunia saat itu, untuk dididik menjadi mubaligh internasional.
Saat saya akan berangkat, ternyata di Pakistan ada huru-hara besar antara kaum Muslim dengan Ahmadiyah. Saya pun tidak jadi ke sana. Akhirnya, pimpinan mubaligh Ahmadiyah pusat Indonesia mengatakan agar saya langsung diangkat menjadi mubaligh senior dan tugas pertama saya ke kota Medan. Setelah dua tahun di Medan, saya dipindah ke Jakarta. Dan, di Jakarta sekitar 3,5 tahun. Setelah itu, dipindah lagi ke Bali selama enam bulan dan terakhir ke Lombok, NTB. Saya masuk bertugas di Lombok tahun 1983.
Kabarnya, ada kewajiban bagi setiap jemaat Ahmadiyah untuk merekrut satu orang setiap harinya. Apakah itu benar?
Waktu itu, saat saya tugas di Lombok, ada instruksi dari khalifah Ahmadiyah dunia keempat. Ia menginstruksikan pada jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Masing-masing negara ditarget, misalnya dalam tahun 1984, bisa menambah sekian ribu jemaat. Untuk mengejar target itu, pusat Ahmadiyah Indonesia bikin moto, 'Tiada hari tanpa tabligh (dakwah)'. Sejak saat itu, diinstruksikan kepada setiap jemaat melakukan dakwah minimal pada satu orang setiap harinya.
Siapa pemimpin Ahmadiyah sedunia sekarang?
Mirza Ghulam Ahmad, lahir pada 1835 dan meninggal pada 1908. Dia mendirikan Ahmadiyah tahun 1889. Setelah meninggal, dia diganti oleh khalifah Ahmadiyah pertama. Kemudian, bertutur-turut diganti oleh khalifah kedua, ketiga, dan keempat. Khalifah keempat ini adalah cucunya Mirza Ghulam Ahmad, namanya, Tahir Ahmad.
Pada 1984 itu, berapa kira-kira jemaat Ahmadiyah sedunia dan di Indonesia?
Saat itu, di Indonesia ada sekitar 20 hingga 30 ribuan. Kalau di seluruh dunia, sekitar satu juta atau kurang dari satu juta orang.
Tapi, kabar yang beredar menyatakan anggota JAI mencapai 500 ribu orang?
Menurut data Balitbang Depag, sekitar 80 ribu. Tapi, menurut pengakuan Ahmadiyah, satu juta orang, di antaranya 500 ribu sudah membayar iuran. Tapi, menurut saya, sebetulnya anggota jemaat Ahmadiyah di Indonesia ini tidak lebih dari 100 ribu orang. Untuk tingkat dunia, jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia, menurut laporan Hasan Aodah (orang kedua dari khalifah keempat yang sudah sadar dan keluar dari Ahmadiyah) sekitar dua juta orang.
Hasan Aodah ialah orang Arab Palestina dan guru bahasa Arab khalifah ke empat. Ia dari kalangan intelektual dan berada, yang juga akhirnya sadar dan keluar dari Ahmadiyah. Sementara itu, menurut klaim dari Ahmadiyah sendiri mencapai 200 juta orang. Itu bohong.
Peristiwa apa yang kemudian membuat Anda sadar dan keluar dari Ahmadiyah. Padahal, Anda saat itu sudah 10 tahun lebih menjadi mubaligh senior Ahmadiyah?
Saat saya bertugas di Lombok Timur, NTB, saya kenal dengan Ustadz Irfan, pimpinan salah satu pondok pesantren di sana. Kami pun berdebat keras soal Ahmadiyah. Namun, tidak ada titik temu dan akhirnya kami sepakat melakukan mubahalah atau perang doa. Jadi, perjanjiannya, kalau selama tiga bulan lawan saya, yaitu Ustad H Irfan tidak diazab oleh Allah SWT, berarti saya kalah dan saya bersedia dipotong leher saya. Sementara itu, H Irfan juga mengatakan bersumpah pada Allah SWT bahwa kalau memang benar Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi, maka ia bersedia diangkat nyawanya oleh Allah dengan cara yang mengerikan sehingga diketahui banyak orang.
Namun, setelah tiga bulan H Irfan sehat walafiat. Dan, itu artinya saya kalah dalam perang doa itu. Tak lama setelah itu, sejumlah massa mendatangi rumah saya untuk menagih janji saya, yaitu penggal kepala saya. Saat situasi ribut-ribut, aparat polisi pun datang dan mengamankan.
Sejak saat itu, saya mulai guncang dan mulai ragu. Keraguan itu berjalan dua tahun hingga saya putuskan bahwa Ahmadiyah ini tidak benar. Saya pun sempat belajar dan memperdalam ilmu agama ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Karena, sifat saya adalah selalu ingin mengetahui dan ingin bukti dalam menjalankan agama Islam ini.
Akhirnya, saya buat pernyataan saya keluar dari Ahmadiyah pada April 1986 di Malaysia dan Singapura. Setelah keluar dari Ahmadiyah, saya pun menantang khalifah keempat Ahmadiyah, Tahir Ahmad, yang merupakan pemimpin Ahmadiyah dunia untuk melakukan mubahalah (perang doa), seperti yang saya lakukan dengan Ustad H Irfan. Tantangan saya pun diterima oleh dia. Mestinya, kaum Ahmadiyah bisa berpikir bahwa sampai sekarang alhamdulillah saya sehat walafiat. Dan, bahkan bisa ada kegiatan membuat sejumlah buku.
Sementara, karena memang sudah takdir Allah SWT, beberapa saat setelah mubahalah, khalifah Keempat, Tahir Ahmad, meninggal dunia di tempat pelarian di London. Saya tidak pernah mendoakan jelek pada dia. Namun, itu semua sudah takdir Allah SWT.
Sebelum itu, saya sempat tiga kali berusaha menemui khalifah keempat ini. Namun, ia tidak mau menerima saya. Ia takut. Sejak itu, pusat Ahmadiyah pindah dari pakistan ke London. Karena, di Pakistan sudah dilarang.
Kegiatan Anda saat ini. Kabarnya, Anda sibuk dengan upaya-upaya penyadaran kaum Ahmadiyah untuk kembali ke Islam yang kaffah?
Ya, sekarang tugas saya adalah melakukan penyadaran-penyadaran. Percayalah bahwa saya sudah pernah mengalami apa yang saat ini kaum Ahmadiyah alami. Saya mengakui saat itu memang saya merasa yang paling benar dan orang lain pasti salah.
Saya tegaskan di sini, itu semua adalah salah. Saya tinggal di Garut, dan saya banyak menulis terutama tentang bagaimana kesesatan dari Ahmadiyah ini. Karena, penyadaran yang efektif adalah melalui buku. Saya sudah terbitkan buku yang judulnya Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah, Seruan untuk Mencampakkan Agama Manusia, yakni Ahmadiyah, serta Oleh-oleh dari London. Juga buku berjudul 100 Lebih Pemahaman Kaum Muslimin perlu Direformasi. Selain itu, saya juga sudah menerjemahkan Alquran yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen Agama.
Proses penyadaran ini, puncaknya ada di buku (100 Lebih Pemahaman Kaum Muslimin perlu Direformasi). Ini bersifat umum. Bahkan, Ketua Ahmadiyah Malang, Waji, pernah SMS ke saya. Dia baru selesai baca buku ini dan dia bilang buku saya bagus sekali.
Saya belum tahu kalau Waji ini ternyata ketua Ahmadiyah Malang. Lantas, saya katakan ke dia, kalau memang buku itu bagus, tolong sosialisasikan ke ustadz-ustadz dan masyarakat Muslim. Barulah di situ dia mengaku bahwa ia ketua Ahmadiyah Malang.
Sejumlah negara sudah melarang keberadaan Ahmadiyah. Menurut Anda?
Memang, di Pakistan tahun 1984 sudah dilarang. Sementara itu, di Malaysia dan Brunei Darussalam sudah dilarang, bahkan sudah puluhan tahun yang lalu. Juga di negara-negara lain.
Bagaimana pendapat Anda soal rencana keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri?
Memang, seharusnya kan sudah keluar SKB itu. Ini memang agak lambat. Beberapa waktu lalu sudah mengerucut-mengerucut dan katanya sudah akan keluar. Tapi, kok tampaknya susah juga. Kelihatannya, pemerintah melakukan pertimbangan-pertimbangan. Namun, saya yakin kelihatannya pemerintah masih akan tetap mengakomodasi Ahmadiyah. Entah diakomodasi berapa persen. Namun, yang jelas kelihatannya umat Islam akan diakomodasi jauh lebih banyak.
Kalau pendapat Anda, sebaiknya sikap pemerintah seperti apa?
Tugas saya saat ini adalah penyadaran. Kalau menurut saya, mari kita kumpulkan dulu tokoh-tokoh pimpinan dari Ahmadiyah ini dan dilakukan proses penyadaran. Saya bersedia untuk itu. Biarlah nanti terjadi debat yang panjang sekalipun. Saya siap dan bersedia.
Saya pernah dalam posisi mereka karena saya pernah 10 tahun lebih di Ahmadiyah. Bahkan, sampai tingkatan bersedia potong leher. Artinya, kan saat itu saya sudah benar-benar menjalankan dan mengamalkan ajaran Ahmadiyah. Jadi, kumpulkan mereka dan disaksikan pihak pemerintah, saya akan menjelaskan dan sejelas-jelasnya di mana letak kesesatan Ahmadiyah ini. Mari kita bicara. Yang penting mereka terbuka dan bersedia bertemu. Jadi, akhirnya mereka juga bisa sadar bahwa Ahmadiyah ini keliru.
Rabu, 04 Agustus 2010
Mengenal Mirza Ghulam Ahmad “Dedengkot Ahmadiyah”
Mirza Ghulam Ahmad yang lahir pada tahun 1839M menceritakan bahwa ayahnya bernama Atha Murtadha berkebangsaan mongol. (Kitab Al-Bariyyah, hal. 134, kary. Mirza Ghulam Ahmad). Namun anehnya, ia juga mengatakan “Kelurga dari Mongol, tetapi berdasarkan firman Allah, tampaknya keluargaku berasal dari Persia, dan aku yakin ini. Sebab tidak ada yang mengetahui seluk-beluk keluargaku seperti berita yang datang dari Allah Ta’ala.” (Hasyiah Al-Arba’in, no.2 hal.17, karya Mirza Ghulam Ahmad). Dia juga pernah berkata, “Aku pernah membaca beberapa tulisan ayahku dan kakekku, kalau mereka berasal dari suku mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku bahwa aku dari bangsa Persia.” (Dhamimah Haqiqatil Wahyi, hal.77, kary. Mirza Ghulam Ahmad). Yang anehnya lagi, ia juga pernah mengaku sebagai keturunan Fathimah bin Muhammad. (lihat Tuhfah Kolart, hal. 29).
Aneh memang jika kita menelusuri asal usul Mirza Ghulam Ahmad. Dari asal-usul yang gak jelas inilah yang kemudian lahir juga pemahaman-pemahaman yang aneh dan menyesatkan.
Keadaan Keluarga Mirza Ghulam Ahmad
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri jamaah ahmadiyah ini menceritakan keadaan keluarganya yang ditulisnya dalam kitab Tuhfah Qaishariyah, hal 16 karangannya, ia berkata, “Ayahku memiliki kedudukan dikantor pemerintahan. Dia termasuk orang yang dipercaya pemerintah Inggris. Dia juga pernah membantu pemerintah untuk memberontak penjajah Inggris dengan memberikan bantuan kuda dan pasukan. Namun sesudah itu, keluargaku mengalami krisis dan kemunduran, sehingga menjadi petani yang melarat.”
Kebodohan-kebodohan Mirza Ghulam Ahmad
Ia berkata, “Sesungguhnya saat Rasulullah dilahirkan, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal.” (Lihat Baigham Shulh, hal.19 karyanya).
Kata apa yang pantas kita juluki untuk orang yang satu ini, kalau bukan “bodoh” ? Padahal yang benar adalah bahwa ayah Rasulullah meninggal ketika beliau berada dalam kandungan ibunya.
Kebodohan lainnya nampak jelas dalam kitabnya Ainul Ma’rifah hal.286, ia berkata, “Rasulullah memiliki sebelas anak dan semuanya meninggal.”
Padahal, yang benar adalah bahwa beliau (Rasulullah) hanya memiliki 6 orang anak.
Bagaimana mungkin orang seperti Mirza Ghulam Ahmad ini mengaku Al-Masih ?
Kebejatan Mirza Ghulam Ahmad
Orang yang diagung-agungkan oleh pengikutnya ini memiliki banyak kebejatan yang tak layak dimiliki oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah. Ia tidak hanya menghina para ulama, bahkan ia juga menghina Para Rasul-rasul Allah.
Banyak dari kalangan ulama pada masanya yang menentang ajaran-ajaran “nyeleh” dedongkot Ahmadiyah ini. Bukannya membantah dengan bukti-bukti, Mirza Ghulam Ahmad malah menghina dengan mengatakan, “Orang-orang yang menentangku, mereka lebih najis dari Babi.” (Najam Atsim, hal.21 karyanya)
Ia juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad hanya memiliki tiga ribu mukjizat saja, sedangkan aku memiliki lebih dari satu juta jenis.” (Tadzkirah Syahadatain, hal.72, karyanya)
Tidak puas menghina Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, Mirza Ghulam Ahmad juga menghina Nabi Isa dengan mengatakan, “Sesungguhnya Isa tidak mampu mengatakan dirinya sebagai orang sholih, sebab orang-orang mengetahui kalau dia suka minum-minuman keras dan perilakunya tidak baik.” (Hasyiyah Sitt Bahin, hal.172, karyanya).
Masih tidak puas dengan hal tersebut, Mirza Ghulam Ahmad juga mengatakan, “Isa cenderung menyukai para pelacur, karena nenek-neneknya adalah termasuk pelacur.” (Dhamimah Atsim, Hasyiyah, hal. 7, karyanya)
Dan yang sangat mengherankan adalah, pada kesempatan lain ia juga “bersabda” dalam hadits palsunya, “Sesungguhnya celaan, makian bukanlah perangai orang-orang shiddiq (benar). Dan orang-orang yang beriman, bukanlah orang yang suka melaknat.” (Izalatul Auham, hal.66)
Lelucon apa ini ?
Masih dalam rangkaian kebejatan Mirza Ghulam Ahmad
Rupanya orang yang diagung-agungkan dan merupakan dedengkot Ahmadiyah ini, tidak hanya menghina Rasulullah, tetapi ditambahkan lagi dengan menghina para Sahabat Rasulullah seperti Abu Hurairah.
Mirza Ghulam Ahmad mengatakan, “Abu Hurairah adalah orang yang dungu, dia tidak memiliki pemahaman yang lurus.” (I’jaz Ahmadiy, hal.140, karyanya)
Sementara itu, ditempat lain ia mengatakan, “Sesungguhnya ingatanku sangat buruk, aku lupa siapa saja yang sering menemui aku.” (Maktubat Ahmadiyah, hal.21 karyanya)
Kematian Mirza Ghulam Ahmad
Tidak sedikit para ulama yang menentang dan berusaha menasehati Mirza Ghulam Ahmad agar ia bertaubat dan menghentikan dakwah sesatnya itu. Namun, usaha itu tidak juga membuat dedengkot Ahmadiyah ini surut dalam menyebarkan kesesatannya.
Syeikh Tsanaullah, satu diantara sekian banyak ulama yang berusaha keras menentangnya dan menasehatinya. Merasa terganggu dengan usaha Syeikh Tsanaullah tersebut, Mirza Ghulam Ahmad mengirimkan sebuah surat kepada Syeikh Tsanaullah yang berisi tentang keyakinan hatinya bahwa ia adalah seorang nabi, bukan pendusta, bukan pula dajjal sebagaimana julukan yang diarahkan kepadanya oleh para ulama. Ia juga mengatakan bahwa sesungguhnya yang mendustakan kenabiannya itulah pendusta yang sesungguhnya.
Diakhir suratnya itu, ia berdo’a dengan mengatakan, “Wahai Allah yang maha mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas Nama-Mu pada siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku.
Wahai Allah, jika aku benar sedangkan Tsanaullah berada diatas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tho’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin”
Sebuah do’a mubahalah yang dipinta Mirza Ghulam Ahmad. Dan ternyata Allah mendengar doa tersebut, setelah 13 bulan lebih sepuluh hari setelah do’a itu, yakni pada tanggal 26 Mei 1908, Mirza Ghulam Ahmad dibinasakan oleh Allah dengan penyakit Kolera yang diharapkan menimpa Syeikh Tsanaullah.
Sementara itu Syeikh Tsanaullah masih hidup sekitar 40 tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad
Sementara itu Syeikh Tsanaullah masih hidup sekitar 40 tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad
Komnas HAM + Ahmadiyah : Kebebasan (& Bebas) Mengacak-acak Agama?
Tanggal 15 Januari lalu, dalam rapat Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) menyampaikan 12 poin penjelasan. Bakorpakem menyatakan ajaran itu akan dievaluasi tiga bulan. Apa dan bagaimana sebenarnya Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad, berikut bagian kedua dari tiga tulisan.
''Katakanlah (wahai Mirza Ghulam Ahmad) jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu. Mudah-mudahan Tuhanmu melimpahkan rahmatnya kepadamu dan sekiranya kamu kembali kepada kedurhakaan niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka jahannam bagi orang-orang kafir. Dan Kami tidak mengutusmu (wahai Mirza Ghulam Ahmad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Katakanlah beramallah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku juga beramal. Kelak kamu akan mengetahui.''
Umat Islam tentu tak asing dengan redaksi ayat di atas. Redaksi ayat tersebut memang ada di QS Ali Imran ayat 31, QS Alanbiyaa ayat 107, dan QS Alan'am ayat 135. Oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA), ketiga ayat tersebut digabungkan, dipotong sedikit, dimodifikasi--seperti memasukkan namanya dalam tanda kurung--kemudian diklaim sebagai wahyu. Ayat gabungan itu ditulisnya di kitab Haqieqatul Wahyi hlm 82.
'Wahyu-wahyu' itu lalu dikumpulkan dalam Tadzkirah. Tadzkirah yang lebih tebal dibanding Alquran itu dipenuhi ayat-ayat Alquran yang dijiplak, diklaim, dan diputarbalikkan. Juga berisi kata-kata MGA seperti: ''Engkau bagi-Ku seperti anak-anak-Ku. Engkau dari Aku, Aku dari engkau'' (hlm 436); ''Ketahuilah bahwa istrinya Ahmad dan kerabatnya, mereka adalah keluarga-Ku'' (hlm 138); ''Wahai Ahmadku. Engkau adalah tujuan-Ku. Kedudukanmu di sisi-Ku sederajat dengan Kemahaesaan-Ku.'' (hlm 579). Lihat pula klaimnya: ''Alquran itu kitab Allah dan kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku'' (Istisfa, hlm 81); ''Engkau wahai Mirza bagiku adalah anakku'' (Istisfa' hlm 82); ''Apabila engkau wahai Mirza menghendaki sesuatu apa saja, cukup engkau katakan: jadilah maka jadilah ia'' (Istisfa' hlm 88); ''Isa telah membiasakan perbuatan keji dan lancang lidah .... Semua berita-berita yang diakuinya bahwa berita-berita tersebut menceritakannya dalam kitab Taurat adalah tidak pada umumnya.'' (Ruhani Khazain, hlm 289).
Dalam 12 poin penjelasannya pada rapat Bakorpakem tiga bulan lalu, Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI), Abdul Basit, membantah Tadzkirah sebagai kitab suci. ''Melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah.'' Bahkan, pada lembar pertama Tadzkirah sudah tertulis ''Tadzkirah yakni wahyu yang suci.''
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) telah meneliti dan menerbitkan sejumlah buku yang menyandingkan ayat-ayat Tadzkirah dengan Alquran. Salah satunya Ahmadiyah dan Pembajakan Alquran. Tapi, seberapa banyak ayat Alquran yang dibajak, LPPI tetap sulit menghitungnya. ''Pokoknya banyak,'' kata Ketua LPPI, Amin Djamaluddin, kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Berdasar pemeriksaan teliti atas fakta-fakta tersebut, Amin mempertanyakan dalih kebebasan untuk melegitimasi eksistensi Ahmadiyah, apalagi menggunakan pasal-pasal konstitusi. ''Kebebasan beragama tidak sama dengan kebebasan mengacak-acak agama. Seharusnya para ahli hukum bisa membedakan itu,'' katanya. Dia menilai umat Islam yang mayoritas lebih patut dilindungi akidahnya oleh hukum, konstitusi, dan pemerintah.
Ahmadiyah kali pertama masuk Hindia Belanda pada 1925. Mulanya baik-baik saja. Tapi, setelah nyata bahwa mereka bukan seperti ormas Islam pada umumnya, tapi membawa ajaran baru, mulai timbul penolakan. Muhammadiyah, misalnya, sejak 1930-an telah menyatakan: ''Yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi adalah kafir.''
Dalam artikel '75 Tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia' di situs web JAI, ahmadiyyah.org dituliskan; ''... para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis, terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933.''
PB Ahmadiyah didirikan pada 1932 dengan R Muhyidin sebagai ketua pertamanya. Pada 1953, Ahmadiyah mendapatkan status badan hukum resmi dari Departemen Kehakiman nomor J.A.5/23/137, 3 Maret 1953. Namun, persoalan tak lantas selesai.
Sejak 1953 sampai dengan 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan dua fatwa, PBNU menyatakan Ahmadiyah menyimpang, sejumlah kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi telah melarang Ahmadiyah, dan dibahas dalam rapat-rapat lintas menteri.
Saat kontroversi berlangsung, JAI memindahkan markasnya ke Parung, Bogor. Di atas tanah tiga hektare, dibangun Kampus Mubarak. Mulanya warga mengira Ahmadiyah sama dengan ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah. ''Ternyata berbeda. Mereka kalau shalat Jumat sendiri,'' kata Ismat, ketua RT 03 Kp Babakan, Desa Pondok Udik, Kec Kemang, Kab Bogor.
Juli 2005, warga menyerang Kampus Mubarak pada Juli 2005. Sejak itu, Kampus Mubarak ditutup. Saat Republika mengunjungi Kampus Mubarak, Februari lalu, seorang petugas keamanan bernama Nasir Ahmad menunjukkan pengumuman bahwa hanya yang mendapat rekomendasi pimpinan JAI yang diperbolehkan masuk. Namun, warga sekitar menyatakan tempat itu masih kerap didatangi, antara lain, untuk shalat Jumat.
Menyusul peristiwa penyerangan, Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) membahas soal Ahmadiyah pada 2005. Rekomendasinya meminta Ahmadiyah--baik Qadian maupun Lahore--dilarang dan dibubarkan. ''Secara politik dan hukum, masalah Ahmadiyah seharusnya sudah selesai. Tapi, hasil rapat Tim Pakem tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah,'' sesal kuasa hukum Forum Umat Islam, Munarman.
Dari Tim Pakem, kata Munarman, rekomendasi itu mestinya disampaikan kepada Presiden untuk dibuatkan keppres pembubaran Ahmadiyah. Tapi, Adnan Buyung Nasution selaku tim pembela Ahmadiyah melobi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Dari situ, rekomendasi kemudian berbelok ke Departemen Agama. Tapi, Adnan Buyung membantah.
''Saya hanya memimpin persidangan. Peserta sendirilah yang membuat rekomendasi. Dan, saya menerima sebagai wakil dari Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) sebagai masukan untuk nanti masih disidangkan lagi oleh Wantimpres. Bagaimana nanti Wantimpres mengambil keputusan akhir untuk dijadikan nasihat kepada Presiden. Ada prosesnya. Tidak serta-merta,'' kata Buyung.
Mengendap dua tahun, masalah Ahmadiyah mencuat lagi pada 2007, menyusul insiden Manis Lor. Masalah itu pun dibahas serius dalam tujuh putaran dialog. Kepala Balitbang Depag, Atho Mudzhar, mengatakan ditawarkan tujuh opsi. Antara lain: pembubaran JAI oleh pemerintah, pembubaran JAI oleh pengadilan, warga Ahmadiyah dikategorikan non-Muslim, dan diterima sebagai salah satu aliran dalam komunitas Muslim Indonesia. JAI memilih yang terakhir.
Karena itu pilihannya, Atho mengatakan pemerintah menyarankan JAI menjelaskan posisi keyakinan dan kemasyarakatannya. Lahirlah 12 poin penjelasan. ''Tapi, itu bukan kesepakatan antara Depag dan JAI, melainkan pernyataan JAI sendiri untuk direspons dengan segala konsekuensinya ,'' kilah Atho. Lalu, akankah masalah Ahmadiyah akan dibiarkan berlarut-larut atau diselesaikan?
''Katakanlah (wahai Mirza Ghulam Ahmad) jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu. Mudah-mudahan Tuhanmu melimpahkan rahmatnya kepadamu dan sekiranya kamu kembali kepada kedurhakaan niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka jahannam bagi orang-orang kafir. Dan Kami tidak mengutusmu (wahai Mirza Ghulam Ahmad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Katakanlah beramallah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku juga beramal. Kelak kamu akan mengetahui.''
Umat Islam tentu tak asing dengan redaksi ayat di atas. Redaksi ayat tersebut memang ada di QS Ali Imran ayat 31, QS Alanbiyaa ayat 107, dan QS Alan'am ayat 135. Oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA), ketiga ayat tersebut digabungkan, dipotong sedikit, dimodifikasi--seperti memasukkan namanya dalam tanda kurung--kemudian diklaim sebagai wahyu. Ayat gabungan itu ditulisnya di kitab Haqieqatul Wahyi hlm 82.
'Wahyu-wahyu' itu lalu dikumpulkan dalam Tadzkirah. Tadzkirah yang lebih tebal dibanding Alquran itu dipenuhi ayat-ayat Alquran yang dijiplak, diklaim, dan diputarbalikkan. Juga berisi kata-kata MGA seperti: ''Engkau bagi-Ku seperti anak-anak-Ku. Engkau dari Aku, Aku dari engkau'' (hlm 436); ''Ketahuilah bahwa istrinya Ahmad dan kerabatnya, mereka adalah keluarga-Ku'' (hlm 138); ''Wahai Ahmadku. Engkau adalah tujuan-Ku. Kedudukanmu di sisi-Ku sederajat dengan Kemahaesaan-Ku.'' (hlm 579). Lihat pula klaimnya: ''Alquran itu kitab Allah dan kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku'' (Istisfa, hlm 81); ''Engkau wahai Mirza bagiku adalah anakku'' (Istisfa' hlm 82); ''Apabila engkau wahai Mirza menghendaki sesuatu apa saja, cukup engkau katakan: jadilah maka jadilah ia'' (Istisfa' hlm 88); ''Isa telah membiasakan perbuatan keji dan lancang lidah .... Semua berita-berita yang diakuinya bahwa berita-berita tersebut menceritakannya dalam kitab Taurat adalah tidak pada umumnya.'' (Ruhani Khazain, hlm 289).
Dalam 12 poin penjelasannya pada rapat Bakorpakem tiga bulan lalu, Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI), Abdul Basit, membantah Tadzkirah sebagai kitab suci. ''Melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah.'' Bahkan, pada lembar pertama Tadzkirah sudah tertulis ''Tadzkirah yakni wahyu yang suci.''
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) telah meneliti dan menerbitkan sejumlah buku yang menyandingkan ayat-ayat Tadzkirah dengan Alquran. Salah satunya Ahmadiyah dan Pembajakan Alquran. Tapi, seberapa banyak ayat Alquran yang dibajak, LPPI tetap sulit menghitungnya. ''Pokoknya banyak,'' kata Ketua LPPI, Amin Djamaluddin, kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Berdasar pemeriksaan teliti atas fakta-fakta tersebut, Amin mempertanyakan dalih kebebasan untuk melegitimasi eksistensi Ahmadiyah, apalagi menggunakan pasal-pasal konstitusi. ''Kebebasan beragama tidak sama dengan kebebasan mengacak-acak agama. Seharusnya para ahli hukum bisa membedakan itu,'' katanya. Dia menilai umat Islam yang mayoritas lebih patut dilindungi akidahnya oleh hukum, konstitusi, dan pemerintah.
Ahmadiyah kali pertama masuk Hindia Belanda pada 1925. Mulanya baik-baik saja. Tapi, setelah nyata bahwa mereka bukan seperti ormas Islam pada umumnya, tapi membawa ajaran baru, mulai timbul penolakan. Muhammadiyah, misalnya, sejak 1930-an telah menyatakan: ''Yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi adalah kafir.''
Dalam artikel '75 Tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia' di situs web JAI, ahmadiyyah.org dituliskan; ''... para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis, terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933.''
PB Ahmadiyah didirikan pada 1932 dengan R Muhyidin sebagai ketua pertamanya. Pada 1953, Ahmadiyah mendapatkan status badan hukum resmi dari Departemen Kehakiman nomor J.A.5/23/137, 3 Maret 1953. Namun, persoalan tak lantas selesai.
Sejak 1953 sampai dengan 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan dua fatwa, PBNU menyatakan Ahmadiyah menyimpang, sejumlah kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi telah melarang Ahmadiyah, dan dibahas dalam rapat-rapat lintas menteri.
Saat kontroversi berlangsung, JAI memindahkan markasnya ke Parung, Bogor. Di atas tanah tiga hektare, dibangun Kampus Mubarak. Mulanya warga mengira Ahmadiyah sama dengan ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah. ''Ternyata berbeda. Mereka kalau shalat Jumat sendiri,'' kata Ismat, ketua RT 03 Kp Babakan, Desa Pondok Udik, Kec Kemang, Kab Bogor.
Juli 2005, warga menyerang Kampus Mubarak pada Juli 2005. Sejak itu, Kampus Mubarak ditutup. Saat Republika mengunjungi Kampus Mubarak, Februari lalu, seorang petugas keamanan bernama Nasir Ahmad menunjukkan pengumuman bahwa hanya yang mendapat rekomendasi pimpinan JAI yang diperbolehkan masuk. Namun, warga sekitar menyatakan tempat itu masih kerap didatangi, antara lain, untuk shalat Jumat.
Menyusul peristiwa penyerangan, Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) membahas soal Ahmadiyah pada 2005. Rekomendasinya meminta Ahmadiyah--baik Qadian maupun Lahore--dilarang dan dibubarkan. ''Secara politik dan hukum, masalah Ahmadiyah seharusnya sudah selesai. Tapi, hasil rapat Tim Pakem tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah,'' sesal kuasa hukum Forum Umat Islam, Munarman.
Dari Tim Pakem, kata Munarman, rekomendasi itu mestinya disampaikan kepada Presiden untuk dibuatkan keppres pembubaran Ahmadiyah. Tapi, Adnan Buyung Nasution selaku tim pembela Ahmadiyah melobi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Dari situ, rekomendasi kemudian berbelok ke Departemen Agama. Tapi, Adnan Buyung membantah.
''Saya hanya memimpin persidangan. Peserta sendirilah yang membuat rekomendasi. Dan, saya menerima sebagai wakil dari Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) sebagai masukan untuk nanti masih disidangkan lagi oleh Wantimpres. Bagaimana nanti Wantimpres mengambil keputusan akhir untuk dijadikan nasihat kepada Presiden. Ada prosesnya. Tidak serta-merta,'' kata Buyung.
Mengendap dua tahun, masalah Ahmadiyah mencuat lagi pada 2007, menyusul insiden Manis Lor. Masalah itu pun dibahas serius dalam tujuh putaran dialog. Kepala Balitbang Depag, Atho Mudzhar, mengatakan ditawarkan tujuh opsi. Antara lain: pembubaran JAI oleh pemerintah, pembubaran JAI oleh pengadilan, warga Ahmadiyah dikategorikan non-Muslim, dan diterima sebagai salah satu aliran dalam komunitas Muslim Indonesia. JAI memilih yang terakhir.
Karena itu pilihannya, Atho mengatakan pemerintah menyarankan JAI menjelaskan posisi keyakinan dan kemasyarakatannya. Lahirlah 12 poin penjelasan. ''Tapi, itu bukan kesepakatan antara Depag dan JAI, melainkan pernyataan JAI sendiri untuk direspons dengan segala konsekuensinya ,'' kilah Atho. Lalu, akankah masalah Ahmadiyah akan dibiarkan berlarut-larut atau diselesaikan?
Hikayat Nabi Palsu dari Tanah Hindustan
Tanggal 15 Januari lalu, dalam rapat Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) menyampaikan 12 poin penjelasan. Bakorpakem menyatakan ajaran itu akan dievaluasi tiga bulan. Apa dan bagaimana sebenarnya Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad, berikut bagian pertama dari tiga tulisan.
Hal utama yang dipersoalkan dari ajaran Ahmadiyah yang dibawa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) itu adalah kenabiannya. Sebab, doktrin Islam dalam Alquran dan Hadis menegaskan Muhammad SAW adalah penutup para nabi. ''Dalil-dalilnya qath'i,'' kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Djamaluddin.
Karena orang-orang Ahmadiyah mengaku Muslim, doktrin itu pun mengikat mereka. Lain halnya, kata Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, bila mereka menyatakan diri non-Muslim. Di Pakistan, tempat asal ajaran Mirzaiyah itu, penganutnya sudah dinyatakan sebagai non-Muslim.
PB JAI--yang sampai saat ini menolak penganut Ahmadiyah dinyatakan sebagai non-Muslim--menyatakan dalam poin kedua penjelasan PB JAI, ''Sejak semula, kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyyin (nabi penutup).'' Di poin ketiga, dinyatakan, ''Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri, dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.''
Lihat pula poin kelima, ''Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini, (a) Tidak ada wahyu syariat setelah Alquranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; (b) Alquran dan Sunah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.''
Tokoh-tokoh Islam dari berbagai ormas melihat ada permainan kata-kata. Antara lain, karena tak ada pernyataan MGA bukan nabi. Namun demikian, mereka tetap bersabar tiga bulan. Amir PB JAI, Abdul Basith, tetap menyatakan mereka selama ini disalahpahami. Benarkah?
Jumat (11/4) pekan lalu, Republika mengunjungi Masjid Al Mubarak, Jl Moch Kahfi II No 44, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Khatib shalat Jumat di masjid itu adalah Basuki Ahmad Mubaligh. Pria asal Jawa Tengah ini adalah pengurus masjid Ahmadiyah di Depok.
Mula-mula, dia mengulas film Fitna yang menggegerkan. Tak lama kemudian, dia mengulas soal adanya nabi setelah Muhammad, ''Berdasarkan Alquran surat Asshaff ayat 6, ada nabi bernama Ahmad,'' katanya.
Basuki menutup khotbah 20 menitnya dengan pernyataan, ''Ahmadiyah tidak menghina Muhammad SAW. Ajaran ini justru memuliakannya.'' Sebelum shalat Jumat dimulai, mereka melantunkan bacaan yang banyak menyebut ''Ahmad''.
Doktrin
Soal MGA nabi atau bukan bagi penganut Ahmadiyah, memang tak mungkin diputuskan di meja perundingan Bakorpakem. Sebab, doktrin kenabian MGA bertebaran di 88 buku yang ditulis MGA. Semua orang--termasuk Muslim--yang tidak mengakui MGA sebagai nabi dinyatakan kafir secara tegas.
Di beberapa kitabnya, MGA memang mencela orang yang mengaku nabi setelah Muhammad. Seperti tertulis di kitab Isytirahat hlm 297, ''Lihatlah dengan jelas, sesungguhnya kami melaknat setiap orang yang mengaku jadi nabi.''
Di kitab Ruhani Khazain hlm 435, MGA juga menulis, ''Janganlah kamu menjadi musuh-musuh Alquran dan kamu mengatakan bahwa silsilah wahyu kenabian itu masih berjalan, tidak terputus setelah khatamun nabiyyin.'' Tapi, MGA sendiri justru mengaku menjadi nabi. Berikut tertulis di Ruhani Khazain halaman 154, ''Sungguh Allah telah menjadikanku seorang nabi, dan telah menyapaku dengan titel ini dengan sangat jelas.'' Di halaman 230 tertulis, ''Maha benar Allah yang telah mengutus rasul-Nya (Mirza Ghulam Ahmad) di Qadian.''
Di Tadzkirah hlm 342, MGA mengatakan, ''Bahwa Allah telah memberi kabar padanya, 'Sesungguhnya orang yang tidak mengikutimu dan tidak berbaiat padamu dan tetap menentangmu, dia itu adalah orang yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan termasuk penghuni neraka jahim'.''
Dalam buku Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad menyatakan, dalam pidatonya di Lahore, MGA dikutip media untuk mencabut pengakuannya sebagai nabi. Tapi, Basiruddin yang merupakan salah seorang anak MGA dan 'khalifatul masih II' membantahnya.
''Berita yang berisikan kesalahpahaman itu dicetak pula oleh sebuah surat kabar bernama Akbhar-e-Aam Lahore. Hazrat Ahmad as pun segera membantah berita yang salah itu dan menyiarkan sebuah karangan yang berjudul Ek Ghalathy Ka Izalah,'' kata Basiruddin dalam buku berjudul asli Sirat Masih Mau'ud yang bisa di-download dari situs PB JAI, ahmadiyya.org.
Dalam Ek Ghalathy Ka Izalah, MGA menulis, ''Saya memang mendakwakan diri sebagai nabi dan sama sekali tidak pernah menarik kembali pendakwaan itu. Hanya saya tidak membawa syariat baru dan tetap hanya satu syariat yang dibawa junjungan yang mulia Nabi Muhammad SAW ....''
Benarkah nabi tanpa syariat? Di Ruhani Khazain halaman 435, MGA menulis, ''Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku, wahyu syariat juga.'' Secara faktual, syariatnya antara lain menghapuskan jihad, haji akbar di Qadian, melarang shalat di belakang non-Ahmadi, dan lain-lain. Lantas, wahyu dan keterangan manakah yang menjadi pegangan orang-orang Ahmadiyah? MGA yang melaknat orang yang mengaku nabi atau MGA yang mengaku nabi? MGA yang mengaku tak membawa syariat atau MGA yang membawa syariat? Amin Djamaluddin mengatakan kenabian MGA itu merupakan pokok keyakinan atau 'rukun iman'-nya orang Ahmadiyah.
Inilah yang dikatakan tokoh Ahmadiyah di Indonesia, Syafi R Batuah, dalam buku Ahmadiyah: Apa dan Mengapa? (PB JAI, 1968), ''Bahwa semua orang Islam harus percaya pada nabi Mirza Ghulam Ahmad. Kalau tidak, berarti mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran Alquran. Dan, siapa-siapa yang tidak mengikuti Alquran maka ia bukan Muslim. Dan, barang siapa yang mengingkari seorang nabi, menurut istilah agama Islam disebut kafir.''
Karena dasar-dasar doktrin itulah, Budi (samaran) mantan anggota Ahmadiyah Manis Lor, Kuningan Jawa Barat, ragu 12 poin penjelasan PB JAI akan sukses. "Bohong mereka mah. Ulah dipercaya."
Hal utama yang dipersoalkan dari ajaran Ahmadiyah yang dibawa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) itu adalah kenabiannya. Sebab, doktrin Islam dalam Alquran dan Hadis menegaskan Muhammad SAW adalah penutup para nabi. ''Dalil-dalilnya qath'i,'' kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Djamaluddin.
Karena orang-orang Ahmadiyah mengaku Muslim, doktrin itu pun mengikat mereka. Lain halnya, kata Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, bila mereka menyatakan diri non-Muslim. Di Pakistan, tempat asal ajaran Mirzaiyah itu, penganutnya sudah dinyatakan sebagai non-Muslim.
PB JAI--yang sampai saat ini menolak penganut Ahmadiyah dinyatakan sebagai non-Muslim--menyatakan dalam poin kedua penjelasan PB JAI, ''Sejak semula, kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyyin (nabi penutup).'' Di poin ketiga, dinyatakan, ''Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri, dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.''
Lihat pula poin kelima, ''Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini, (a) Tidak ada wahyu syariat setelah Alquranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; (b) Alquran dan Sunah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.''
Tokoh-tokoh Islam dari berbagai ormas melihat ada permainan kata-kata. Antara lain, karena tak ada pernyataan MGA bukan nabi. Namun demikian, mereka tetap bersabar tiga bulan. Amir PB JAI, Abdul Basith, tetap menyatakan mereka selama ini disalahpahami. Benarkah?
Jumat (11/4) pekan lalu, Republika mengunjungi Masjid Al Mubarak, Jl Moch Kahfi II No 44, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Khatib shalat Jumat di masjid itu adalah Basuki Ahmad Mubaligh. Pria asal Jawa Tengah ini adalah pengurus masjid Ahmadiyah di Depok.
Mula-mula, dia mengulas film Fitna yang menggegerkan. Tak lama kemudian, dia mengulas soal adanya nabi setelah Muhammad, ''Berdasarkan Alquran surat Asshaff ayat 6, ada nabi bernama Ahmad,'' katanya.
Basuki menutup khotbah 20 menitnya dengan pernyataan, ''Ahmadiyah tidak menghina Muhammad SAW. Ajaran ini justru memuliakannya.'' Sebelum shalat Jumat dimulai, mereka melantunkan bacaan yang banyak menyebut ''Ahmad''.
Doktrin
Soal MGA nabi atau bukan bagi penganut Ahmadiyah, memang tak mungkin diputuskan di meja perundingan Bakorpakem. Sebab, doktrin kenabian MGA bertebaran di 88 buku yang ditulis MGA. Semua orang--termasuk Muslim--yang tidak mengakui MGA sebagai nabi dinyatakan kafir secara tegas.
Di beberapa kitabnya, MGA memang mencela orang yang mengaku nabi setelah Muhammad. Seperti tertulis di kitab Isytirahat hlm 297, ''Lihatlah dengan jelas, sesungguhnya kami melaknat setiap orang yang mengaku jadi nabi.''
Di kitab Ruhani Khazain hlm 435, MGA juga menulis, ''Janganlah kamu menjadi musuh-musuh Alquran dan kamu mengatakan bahwa silsilah wahyu kenabian itu masih berjalan, tidak terputus setelah khatamun nabiyyin.'' Tapi, MGA sendiri justru mengaku menjadi nabi. Berikut tertulis di Ruhani Khazain halaman 154, ''Sungguh Allah telah menjadikanku seorang nabi, dan telah menyapaku dengan titel ini dengan sangat jelas.'' Di halaman 230 tertulis, ''Maha benar Allah yang telah mengutus rasul-Nya (Mirza Ghulam Ahmad) di Qadian.''
Di Tadzkirah hlm 342, MGA mengatakan, ''Bahwa Allah telah memberi kabar padanya, 'Sesungguhnya orang yang tidak mengikutimu dan tidak berbaiat padamu dan tetap menentangmu, dia itu adalah orang yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan termasuk penghuni neraka jahim'.''
Dalam buku Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad menyatakan, dalam pidatonya di Lahore, MGA dikutip media untuk mencabut pengakuannya sebagai nabi. Tapi, Basiruddin yang merupakan salah seorang anak MGA dan 'khalifatul masih II' membantahnya.
''Berita yang berisikan kesalahpahaman itu dicetak pula oleh sebuah surat kabar bernama Akbhar-e-Aam Lahore. Hazrat Ahmad as pun segera membantah berita yang salah itu dan menyiarkan sebuah karangan yang berjudul Ek Ghalathy Ka Izalah,'' kata Basiruddin dalam buku berjudul asli Sirat Masih Mau'ud yang bisa di-download dari situs PB JAI, ahmadiyya.org.
Dalam Ek Ghalathy Ka Izalah, MGA menulis, ''Saya memang mendakwakan diri sebagai nabi dan sama sekali tidak pernah menarik kembali pendakwaan itu. Hanya saya tidak membawa syariat baru dan tetap hanya satu syariat yang dibawa junjungan yang mulia Nabi Muhammad SAW ....''
Benarkah nabi tanpa syariat? Di Ruhani Khazain halaman 435, MGA menulis, ''Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku, wahyu syariat juga.'' Secara faktual, syariatnya antara lain menghapuskan jihad, haji akbar di Qadian, melarang shalat di belakang non-Ahmadi, dan lain-lain. Lantas, wahyu dan keterangan manakah yang menjadi pegangan orang-orang Ahmadiyah? MGA yang melaknat orang yang mengaku nabi atau MGA yang mengaku nabi? MGA yang mengaku tak membawa syariat atau MGA yang membawa syariat? Amin Djamaluddin mengatakan kenabian MGA itu merupakan pokok keyakinan atau 'rukun iman'-nya orang Ahmadiyah.
Inilah yang dikatakan tokoh Ahmadiyah di Indonesia, Syafi R Batuah, dalam buku Ahmadiyah: Apa dan Mengapa? (PB JAI, 1968), ''Bahwa semua orang Islam harus percaya pada nabi Mirza Ghulam Ahmad. Kalau tidak, berarti mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran Alquran. Dan, siapa-siapa yang tidak mengikuti Alquran maka ia bukan Muslim. Dan, barang siapa yang mengingkari seorang nabi, menurut istilah agama Islam disebut kafir.''
Karena dasar-dasar doktrin itulah, Budi (samaran) mantan anggota Ahmadiyah Manis Lor, Kuningan Jawa Barat, ragu 12 poin penjelasan PB JAI akan sukses. "Bohong mereka mah. Ulah dipercaya."
Mirza Gulam Ahmad Nabi palsu
Februari lalu, sebuah surat mampir ke meja Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama (Depag), Nasaruddin Umar. Pengirimnya empat negara sekaligus, di antaranya Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Mereka meminta Ahmadiyah tak dibubarkan.
''Suratnya ditujukan kepada Menteri Agama dan ada tembusannya ke saya,'' ungkap Nasarudin kepada Republika, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Lantas, apa yang akan dilakukan Depag? ''Itu tidak akan mempengaruhi apa-apa. Kita tak mau didikte negara lain.''
Saat surat itu datang. Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) memang sedang memantau 12 poin penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) di seluruh Indonesia. Bila 12 poin tak sesuai kenyataan, Bakorpakem berjanji bertindak tegas.
Mengapa negara lain sampai perlu melakukan intervensi? Merujuk fakta sejarah, semuanya menjadi masuk akal. Hubungan Inggris dengan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dan keluarganya memang mesra. 'Nabi' MGA berjasa menyerukan penghapusan jihad saat India dijajah Inggris.
Hasan bin Mahmud Audah, mantan direktur umum Seksi Bahasa Arab Jemaat Ahmadiyah Pusat di London, menilai hubungan MGA dan Inggris tak ubahnya hubungan seorang pelayan kepada majikannya. Bukan semata hubungan terima kasih seorang Muslim pada orang yang berjasa padanya.
Di Ruhani Khazain hlm 36, MGA menyatakan: ''Tidak samar lagi, atas pemerintah yang diberkahi ini (Britania), saya termasuk dari pelayannya, para penasihatnya, dan para pendoa bagi kebaikannya dari dahulu, dan di setiap waktu aku datang kepadanya dengan hati yang tulus.''
Di Ruhain Khazain hlm 155, MGA menulis: ''Sungguh aku telah menghabiskan kebanyakan umurku dalam mengokohkan dan membantu pemerintahan Inggris. Dan dalam mencegah jihad dan wajib taat kepada pemerintah (Inggris), aku telah mengarang buku-buku, pengumuman-pengumuman, dan brosur-brosur yang apabila dikumpulkan tentu akan memenuhi 50 lemari.''
Tengok pula Ruhani Khazain hlm 28: ''Sungguh telah dibatalkan pada hari ini hukum jihad dengan pedang. Maka tidak ada jihad setelah hari ini. Barang siapa mengangkat senjata kepada orang-orang kafir, maka dia telah menentang Rasulullah... sesungguhnya saya ini adalah Al Masih yang ditunggu-tunggu. Tidak ada jihad dengan senjata setelah kedatanganku ini.''
MGA yang mengaku nabi, rasul, almaasih, almahdi, brahman avatar, krishna, dan titisan nabi-nabi, teryata tunduk belaka di hadapan Ratu Victoria. Audah dalam bukunya Ahmadiyah; Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman: ''Perbuatan tidak bermalu Mirza Ghulam 'sang nabi' merendahkan diri depan Ratu Victoria... tak bisa saya terima, bahkan saat saya masih sebagai seorang Ahmadi sejati.''
Pengabdian pada Inggris itu sudah dilakukan leluhur MGA sejak tahun 1830-an. Saat itu, India yang masih dikuasai Muslim, menghadapi dua kekuatan: Inggris dan kaum Sikh. Dalam perang sabil menghadapi kedua kekuatan itu, keluarga Mirza memihak kaum Sikh dan Inggris.
Fakta tersebut diungkap Bashiruddin Mahmud Ahmad, anak MGA yang juga khalifatul masih II dalam bukunya, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad. Leluhur MGA merupakan pemimpin tentara yang membantu Maharaja Ranjit Singh, Jenderal Nicholson, dan Jenderal Ventura.
Dalam bukunya, Bashiruddin tak menjelaskan konteks pemberian bantuan itu. Dia mengungkapkannya layaknya sebuah kehormatan besar bagi keluarganya. Namun fakta sejarah memang tak bisa ditutupi, betapa yang diserang Ranjit Sing, Nicholson, dan Ventura, adalah umat Islam.
''Keuntungan yang utama bagi Inggris karena munculnya Almasih dan Imam Mahdi itu adalah timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam yang tidak bisa dielakkan lagi,'' demikian kesimpulan Abdullah Hasan Alhadar dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah.
Saat masalah pertentangan soal Ahmadiyah mencapai puncaknya di Pakistan dan konstitusi negara itu akhirnya mencantumkan bahwa penganut Ahmadiyah merupakan non-Muslim, terjadilah ketegangan. Buntutnya, kekhalifahan Ahmadiyah yang mirip 'dinasti' itu hengkang dari Pakistan.
Sejak tahun 1985, kekhalifahan tersebut berkedudukan di London, Inggris. Di sana, sejak tahun 1994, Ahmadiyah memiliki sebuah corong untuk menyebarkan ajarannya, yaitu Muslim Television Ahmadiyyah (MTA). Perlu dana luar biasa besar untuk melakukan siaran empat bahasa itu.
Audah yang merupakan mantan orang dalam di markas pusat Ahmadiyah, berkomentar tak mungkin televisi itu dijalankan dengan biaya dari sumbangan orang-orang Ahmadiyah. ''Kami tidak mendapat informasi akurat mengenai identitas orang yang memberi dana proyek itu.'' osa/run (
''Suratnya ditujukan kepada Menteri Agama dan ada tembusannya ke saya,'' ungkap Nasarudin kepada Republika, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Lantas, apa yang akan dilakukan Depag? ''Itu tidak akan mempengaruhi apa-apa. Kita tak mau didikte negara lain.''
Saat surat itu datang. Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) memang sedang memantau 12 poin penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) di seluruh Indonesia. Bila 12 poin tak sesuai kenyataan, Bakorpakem berjanji bertindak tegas.
Mengapa negara lain sampai perlu melakukan intervensi? Merujuk fakta sejarah, semuanya menjadi masuk akal. Hubungan Inggris dengan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dan keluarganya memang mesra. 'Nabi' MGA berjasa menyerukan penghapusan jihad saat India dijajah Inggris.
Hasan bin Mahmud Audah, mantan direktur umum Seksi Bahasa Arab Jemaat Ahmadiyah Pusat di London, menilai hubungan MGA dan Inggris tak ubahnya hubungan seorang pelayan kepada majikannya. Bukan semata hubungan terima kasih seorang Muslim pada orang yang berjasa padanya.
Di Ruhani Khazain hlm 36, MGA menyatakan: ''Tidak samar lagi, atas pemerintah yang diberkahi ini (Britania), saya termasuk dari pelayannya, para penasihatnya, dan para pendoa bagi kebaikannya dari dahulu, dan di setiap waktu aku datang kepadanya dengan hati yang tulus.''
Di Ruhain Khazain hlm 155, MGA menulis: ''Sungguh aku telah menghabiskan kebanyakan umurku dalam mengokohkan dan membantu pemerintahan Inggris. Dan dalam mencegah jihad dan wajib taat kepada pemerintah (Inggris), aku telah mengarang buku-buku, pengumuman-pengumuman, dan brosur-brosur yang apabila dikumpulkan tentu akan memenuhi 50 lemari.''
Tengok pula Ruhani Khazain hlm 28: ''Sungguh telah dibatalkan pada hari ini hukum jihad dengan pedang. Maka tidak ada jihad setelah hari ini. Barang siapa mengangkat senjata kepada orang-orang kafir, maka dia telah menentang Rasulullah... sesungguhnya saya ini adalah Al Masih yang ditunggu-tunggu. Tidak ada jihad dengan senjata setelah kedatanganku ini.''
MGA yang mengaku nabi, rasul, almaasih, almahdi, brahman avatar, krishna, dan titisan nabi-nabi, teryata tunduk belaka di hadapan Ratu Victoria. Audah dalam bukunya Ahmadiyah; Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman: ''Perbuatan tidak bermalu Mirza Ghulam 'sang nabi' merendahkan diri depan Ratu Victoria... tak bisa saya terima, bahkan saat saya masih sebagai seorang Ahmadi sejati.''
Pengabdian pada Inggris itu sudah dilakukan leluhur MGA sejak tahun 1830-an. Saat itu, India yang masih dikuasai Muslim, menghadapi dua kekuatan: Inggris dan kaum Sikh. Dalam perang sabil menghadapi kedua kekuatan itu, keluarga Mirza memihak kaum Sikh dan Inggris.
Fakta tersebut diungkap Bashiruddin Mahmud Ahmad, anak MGA yang juga khalifatul masih II dalam bukunya, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad. Leluhur MGA merupakan pemimpin tentara yang membantu Maharaja Ranjit Singh, Jenderal Nicholson, dan Jenderal Ventura.
Dalam bukunya, Bashiruddin tak menjelaskan konteks pemberian bantuan itu. Dia mengungkapkannya layaknya sebuah kehormatan besar bagi keluarganya. Namun fakta sejarah memang tak bisa ditutupi, betapa yang diserang Ranjit Sing, Nicholson, dan Ventura, adalah umat Islam.
''Keuntungan yang utama bagi Inggris karena munculnya Almasih dan Imam Mahdi itu adalah timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam yang tidak bisa dielakkan lagi,'' demikian kesimpulan Abdullah Hasan Alhadar dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah.
Saat masalah pertentangan soal Ahmadiyah mencapai puncaknya di Pakistan dan konstitusi negara itu akhirnya mencantumkan bahwa penganut Ahmadiyah merupakan non-Muslim, terjadilah ketegangan. Buntutnya, kekhalifahan Ahmadiyah yang mirip 'dinasti' itu hengkang dari Pakistan.
Sejak tahun 1985, kekhalifahan tersebut berkedudukan di London, Inggris. Di sana, sejak tahun 1994, Ahmadiyah memiliki sebuah corong untuk menyebarkan ajarannya, yaitu Muslim Television Ahmadiyyah (MTA). Perlu dana luar biasa besar untuk melakukan siaran empat bahasa itu.
Audah yang merupakan mantan orang dalam di markas pusat Ahmadiyah, berkomentar tak mungkin televisi itu dijalankan dengan biaya dari sumbangan orang-orang Ahmadiyah. ''Kami tidak mendapat informasi akurat mengenai identitas orang yang memberi dana proyek itu.'' osa/run (
Langganan:
Postingan (Atom)